Pulau Sangiang adalah pulau kecil penuh sejarah yang terletak di Selat Sunda, yakni antara Jawa dan Sumatra dengan luas 720 Ha. Secara administratif, pulau ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Serang, lebih tepatnya terletak di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Pulau yang dihibahkan oleh Raja Lampung untuk penduduk keturunan Lampung yang tinggal di Banten. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat warisan dari Kerajaan Lampung kepada masyarakat Desa Cikoneng.
Pada tahun 1983 Pulau Sangiang dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Menteri Kehutanan. Kemudian, pada tahun 1991 statusnya menjadi cagar alam dan kawasan perairan di sekitarnya menjadi taman wisata alam. Pada tahun 1993 tepatnya pada tanggal 8 Februari 1993 melalui SK Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1993 kawasan cagar alam diubah fungsi menjadi Taman Wisata Alam dengan luas 528,15 Ha. Keputusan tersebut menjadi awal permasalahan yang terjadi, hal ini dikarenakan terbitnya izin Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan oleh pemerintah kepada PT Pondok Kalimaya Putih.
Hadirnya PT Pondok Kalimaya Putih menjadi momok yang menakutkan dan penderitaan bagi warga. Banyak permasalahan dan kerusakan yang terjadi ketika hadirnya PT Pondok Kalimaya Putih di Pulau Sangiang. Rawa-rawa diuruk dengan pasir pantai, pinggir laut dikeruk, serta bukit dibom dan dikeruk dengan beko, hancurnya mangrove dan terumbu karang. permasalahan semakin parah ketika warga Pulau Sangiang dikriminalisasi oleh perusahaan. Penderitaan warga Pulau Sangiang tidak hanya sebatas kriminalisasi saja, warga diusik dengan adanya babi hutan dan tupai yang menghancurkan perkebunan warga. Tidak hanya babi dan tupai, warga pun dihantui dengan munculnya banyak ular kobra yang tentu saja sebelumnya tidak ada. Padahal babi, tupai dan ular kobra bukanlah satwa endemik Pulau Sangiang, hal ini sesuai dengan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Serang, itu artinya hewan tersebut sengaja disebarkan luaskan ke Pulau Sangiang. Selain itu warga dipaksa keluar dari pulau dengan diimingi akan diberi uang oleh perusahaan.
Warga Pulau Sangiang sejak dulu sudah merasakan kedamaian dan ketentraman. Namun, hilang begitu saja ketika pemerintah menyatakan Pulau Sangiang sebagai hutan lindung pada tahun 1983, kemudian berubah menjadi cagar alam dan wilayah perairan menjadi taman wisata alam pada tahun 1991, selanjutnya pada tahun 1993 status pulau sangiang berubah menjadi Taman Wisata Alam. Keputusan Pulau Sangiang menjadi Taman Wisata Alam melegalkan pihak swasta untuk mengelolanya. Hal ini terjadi di tahun yang sama (1993), pemerintah memberikan izin Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT Pondok Kalimaya Putih. Padahal sebelum adanya penetapan peraturan pemerintah dan pemberian izin HGB kepada PT Pondok Kalimaya Putih, masyarakat sudah lebih lama tinggal di Pulau Sangiang. Dampak dari kebijakan pemerintah memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT Pondok Kalimaya Putih yaitu masyarakat diusir dari tanahnya sendiri, diintimidasi, dikriminalisasi, diusik oleh tupai, babi hutan, dan ular kobra, serta dipaksa keluar dari pulau. Setelah 30 tahun PT Pondok Kalimaya Putih tidak memberikan dampak apapun di pulau tersebut selain memberikan dampak kerusakan alam. Masyarakat tidak diuntungkan dengan adanya PT Pondok Kalimaya Putih, bahkan tidak berdampak juga untuk negara. Atas dasar tersebut PENA Masyarakat mewakili warga Pulau Sangiang menolakperpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) PT Pondok Kalimaya Putih yang sudah jelas merugikan alam, masyarakat, dan negara. Apabila pemerintah tidak menolak perpanjangan HGB PT Pondok Kalimaya Putih, itu artinya pemerintah menjual kembali Pulau Sangiang kepada PT Pondok Kalimaya Putih. Hal tersebut pastinya akan menambah penderitaan warga Pulau Sangiang, serta membuktikan kegagalan pemerintah dalam menjamin hak dasar warga negaranya.